VIVAnews - Jarum jam menunjuk pukul 04.00 WIB. Rabu itu, 27 Oktober 2010, hari masih gelap, tapi rombongan tim SAR telah bersiap. Mereka adalah tim evakuasi gelombang kedua yang hendak menyisir korban keganasan wedhus gembel, debu panas Gunung Merapi. Mereka bergegas berangkat dari posko yang letaknya 1 km dari dukuh yang akhir-akhir ini jadi begitu tersohor, Kinahrejo.
Berdua-dua mereka berboncengan motor menuju ke atas. Ada pula yang berjalan kaki. Semua dilakukan dengan gerak cepat, menuju titik-titik yang telah ditentukan saat briefing. Di antara rombongan beranggotakan sekitar 24 orang itu, Hidayat Wahid, kamerawan tvOne--yang lebih dikenal dengan nama udara Don Wahid--berada di barisan terdepan.
Dan kekhawatiran mereka segera terbukti.
Mereka menemukan jenazah pertama tergolek di pinggiran jalan. Tim langsung memasukkannya ke dalam kantung mayat, dan kembali melanjutkan pencarian.
Cahaya pagi mulai nampak, memperjelas pandangan mengerikan di sekeliling perjalanan. Di kanan-kiri semua hancur. Pohon dan tanaman tumbang, hangus, meranggas, berselimut debu vulkanik yang masih terhirup menembus masker, walaupun sudah dirangkap dua. Bagi Don Wahid, suasana kehancuran ini seperti mimpi. Sepi, mencekam.
Kinahrejo sudah di hadapan. Rumah-rumah terlihat porak-poranda. Cuma Masjid Al Amien yang masih terlihat bentuk aslinya. Bulu kuduk Don merinding ketika ia memasuki rumah Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi yang dulu sering ia sambangi ketika masih menjadi mahasiswa pecinta alam.
Kursi-kursi kayu panjang tempat si Mbah sering duduk-duduk di depan, sudah lenyap. Rumah itu kini menjadi puing-puing. Beberapa bagiannya bahkan tertutup debu putih hingga setebal 30 cm.
Tim langsung merangsek ke bagian belakang rumah Mbah Maridjan yang berbentuk huruf ‘L’. Perlahan mereka menggali tumpukan debu vulkanik. Tiba-tiba, pandangan mereka tertumbuk pada sesosok jenazah yang tertindih puing kayu. Posisinya sedang bersujud.
“Si Mbah, si Mbah...,” beberapa anggota Tim SAR berseru, sembari buru-buru menyingkirkan puing kayu.
Don terhenyak. Ia semula tak percaya bahwa tubuh tak bernyawa itu adalah Mbah Mardijan. Apalagi, sebelumnya beredar kabar bahwa Mbah Maridjan telah ditemukan selamat, meski dalam kondisi lemah. Tapi, beberapa anggota Tim SAR yang mengenal baik Mbah Maridjan meyakinkannya bahwa itu memang jenazah sang penjaga Merapi.
Pakaian koyak yang melekat di tubuh itu memang batik dan sarung yang biasa dikenakan si Mbah. Salawat pun bergema. Air mata Don dan anggota tim lain langsung mengembang. Mereka pun memasukkan jenazah si Mbah di kantung mayat, menuliskan huruf ‘M’ di atasnya dengan spidol, dan langsung melarikannya ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Roger...
Bagi sebagian anggota tim SAR, Mbah Maridjan memang bukan sosok yang asing. Bila mendaki Merapi lewat jalur selatan, mereka selalu sowan terlebih dahulu ke tempat Si Mbah. Di rumah yang kini telah porak poranda itu, dulu mereka sering bercengkerama.
Berkat interaksinya dengan para pemuda pecinta alam itulah, yang selalu membawa perangkat komunikasi radio handy talkie, si Mbah mengenal istilah ‘roger’. Maka, jangan heran bila di akhir kalimat pembicaraannya, Mbah Maridjan sering mengimbuhi kata "..., roger.”
Kenangan itu kini terkubur tebalnya lapisan debu vulkanik.
Pada 26 Oktober 2010, pukul 17.02 WIB Merapi mulai ‘batuk’ lagi, sejak meletus terakhir 2006. Diperkirakan, pada letusan yang kedelapan pada pukul 18.21 WIB, Merapi mengembuskan wedhus gembel yang tanpa ampun menyapu bersih dukuh Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Hingga berita ini diunggah, awan piroklastik itu setidaknya menyudahi nyawa 36 orang di Kinahrejo dan dusun sekitarnya, termasuk editor senior VIVAnews.com Yuniawan Wahyu Nugroho dan relawan PMI Sleman, Tutur Prijono.
Sebenarnya, Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan), anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi, sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai gelap, mereka tanpa ampun disergap bara wedhus gembel.
Tim evakuasi gelombang pertama menemukan jenazah mereka di belakang mobil APV yang diparkir di depan rumah Mbah Maridjan. Saat ditemukan, mesin mobil masih menyala dengan pintu terbuka. Kemungkinan, Wawan dan Tutur sedang menunggu Mbah Maridjan yang sedang salat. (Kisah Wawan selengkapnya bisa dibaca di sini)
Mbah Maridjan dikenal tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Menurut Agus Wiyarto, si Mbah selalu bergegas meninggalkan segala aktivitasnya saat terdengar azan untuk menunaikan salat. Jika ada tamu, si Mbah selalu mengajak salat bersama.
Kebiasaan itu masih begitu lekat dalam ingatan Jangkung Suseno Aji, kamerawan Rumah Produksi Indigo. Usai mewawancarai si Mbah pada 2006, Seno dan reporternya bersiap untuk pulang. Namun, karena sudah malam, si Mbah menyarankan mereka untuk bermalam.
“Jangan turun dulu, salat dulu. Besok pagi saja pulangnya, sekarang sudah gelap,” kata Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa.
Sepanjang malam, Si Mbah bercerita banyak hal sambil menyelipkan nasihat-nasihatnya. Meski apa yang diucapkannya sepintas terdengar sepele karena diutarakan dengan cara yang lugu, perkataan si Mbah buat Seno punya arti mendalam.
Saat Merapi kembali aktif pada pertengahan April-Mei 2006, banyak wartawan datang meliput. Mbah Maridjan berkali-kali mengatakan, “Kenapa datang ke sini? Merapi sih sudah biasa batuk-batuk. Kenapa tidak justru ke Selatan, karena akan terjadi sesuatu.”
Dua pekan setelah itu--entah kebetulan entah tidak--ucapan Mbah Maridjan terbukti. Pada 27 Mei 2006, Yogyakarta diguncang gempa dan menelan lebih dari 6.200 korban jiwa.
Tiga minggu setelahnya, pada 8 Juni, gunung berapi itu menyemburkan debu panas, melewati kawasan Kaliadem. Namun, ketika itu wedhus gembel tak menyiram Kinahrejo sehingga Mbah Maridjan dan warga pengikutnya yang memilih bertahan, selamat.
Gaji Rp8.000
Bagi warga sekitar Merapi, Mbah Maridjan adalah tokoh panutan. Apalagi, kakek yang lahir 83 tahun lalu itu adalah putra juru kunci Merapi sebelumnya, Mbah Hargo. Ia mulai dilibatkan sebagai asisten juru kunci oleh ayahnya sejak 1965, sebelum diangkat menjadi abdi dalem keraton pada 1974.
Ketika ayahnya meninggal, pria bernama asli Mas Penewu Surakso Hargo itu akhirnya dilantik menjadi juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan titel Raden Ngabehi Surakso Hargo.
Sebagai juru kunci, ia diberi amanat untuk menjaga dan mengawasi Merapi. Ia memimpin berbagai ritual di Merapi, termasuk upacara tahunan Labuhan, di mana warga Merapi melemparkan sesaji ke kawah.
Menurut keterangan Agus, untuk jabatannya itu si Mbah hanya digaji Rp8.000 sebulan.
Ketika si Mbah menjadi bintang iklan Kuku Bima Energi, banyak yang mempertanyakan kenapa tiba-tiba sang penjaga Merapi jadi komersil. Tentang ini, Irwan Hidayat, CEO Sido Muncul, bercerita.
Pertama kali bertemu Mbah Maridjan, ia diantar almarhum Sumadi Wonohito, pemilik Harian Kedaulatan Rakyat. Di awal bertamu, Irwan diperkenalkan sebagai seorang pengusaha kaya dari Jakarta. Mendengar itu, reaksi si Mbah datar-datar saja. Menoleh pun tidak. Sekadar menjaga kesopanan, ia hanya berkata, “Inggih, inggih... (iya, iya...)."
Baru setelah Irwan memperkenalkan diri sebagai adik ipar Anton Sujarwo, si Mbah menoleh dan bersikap ramah. “Saya tidak tahu kalau Bapak adik ipar Pak Anton,” Irwan mengenang.
Ditawari jadi maskot Kuku Bima, si Mbah semula menolak. Ia baru bersedia setelah Irwan membujuknya sembari membawa-bawa nama Anton Sujarwo. “Pak Anton itu orang baik. Karena Beliau, warga di sini bisa mendapat air, memelihara ternak, dan sebagainya,” Irwan menirukan Mbah Maridjan.
Mbalelo
Dikisahkan Agus, si Mbah adalah orang yang bersahaja. Ia berprinsip manusia baru punya nilai dan dianggap berkarya bila mampu mengemban amanah dan tanggung jawab. Begitu pula ia memaknai posisinya sebagai juru kunci.
Karena itulah dia kerap berseberangan pandangan soal bahaya Merapi. Tiap kali Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian merilis data peningkatan aktivitas Merapi, Mbah Maridjan tak mau mengungsi. Ia merasa sudah menjadi tugasnya untuk menjaga Merapi sampai akhir hayat.
Anton Sujarwo, tokoh yang mengenal baik Mbah Hargo, mengatakan sifat-sifat Mbah Maridjan itu menurun dari ayahnya. “Mbah Hargo menurunkan sifat-sifat keteguhan hati, dedikasi, dan pengabdian,” katanya.
Anton mengenal Mbah Hargo sejak 1970, saat yayasannya, Dian Desa, memulai proyek sosial pemasangan jaringan pipa air bersih ke tujuh dukuh di sekitar lereng Merapi. Menurutnya, pengabdian itu diwujudkan si Mbah dalam bentuk kerelaan hidup sederhana di tempat berbahaya seperti Merapi.
Karena keteguhan hatinya itu, tak jarang Mbah Maridjan disebut sebagai orang yang keras kepala. Tak kurang, oleh Sri Sultan HB X, si Mbah disebut abdi dalem yang mbalelo (membangkang).
Pada 15 Mei 2006, Merapi meletus. Presiden SBY meninjau dan bermalam di lokasi. Seluruh kepala dukuh di sekitar Merapi menghadap. Cuma satu yang absen. Dia adalah Mbah Maridjan.
Ketika Sri Sultan HB X secara langsung membujuk Mbah Maridjan untuk turun mengungsi, ia tak menggubrisnya.
"Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini," kata dia.
Si Mbah rupanya kerap tak cocok dengan pilihan langkah Sri Sultan HB X. Menurut Agus, ia misalnya prihatin ketika Raja Jawa itu mencalonkan diri menjadi Presiden.
“Kalau Sri Sultan menjadi presiden, nanti Beliau didemo orang. Lebih baik Beliau menjadi Raja Jawa saja, tidak akan ada yang mendemo," Agus menirukan si Mbah. "Mbok yo ojo nggolek jenang, ning jeneng. Yen nggolek jenang, mengko jenenge keri. Nanging yen nggolek jeneng, jenange katut.” (Semestinya jangan mencari jenang [dodol], tapi mencari jeneng [nama baik, kehormatan]. Kalau mencari jenang, nanti jeneng-nya hilang. Tapi kalau mencari jeneng, jenang sudah pasti termasuk di dalamnya].
Sikap keras kepala itu juga yang ditunjukkan dia sampai akhir hidupnya. Lima hari sebelum Merapi meletus, kata Agus, si Mbah masih hakulyakin aliran lava Merapi akan mengarah ke Kali Opak dan berhenti di Gunung Anyar, tanpa melukai penduduk.
Mendengar peringatan pemerintah, Mbah Maridjan cuma berkali-kali berujar, “Ning arep mati ojo keakehan polah. Nrimalah (kalau akan meninggal, jangan kebanyakan tingkah. Berpasrah diri sajalah)."
Kala kepundan Merapi masih memuntahkan material panas ke angkasa, nisan Mbah Maridjan ditancapkan di tanah pemakaman keluarga di Dusun Srunen, Desa Glagahharjo, Cangkringan. Jasad sang penjaga Merapi kini menyatu dengan bumi yang selama ini dijaganya.
Selamat jalan, Mbah. Roger...
(Laporan: KDW dan Fajar Sodiq, Yogyakarta | kd)
Lanjutan : Bagian Ke II Bagian III Bagian IV
0 pendapat:
Posting Komentar