Touring Trowulan Park 21 November 2010

Senin, 29 November 2010

Kidung Sunda | Sebuah Tragedi Cinta Raja Hayam Wuruk


Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit . Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Ringkasan Kidung Sunda


Pupuh I


Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.

Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.

Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)

Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.

Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.

Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.


Pupuh II (Durma)


Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.

Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.

Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.


Pupuh III (Sinom)


Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.

Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.

Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).

Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.


Beberapa cuplikan teks


Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

  • Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.

  • Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.

  • Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.

  • Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.

  • Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.

Alihbahasa:

· Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.

· Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.

· Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!

· Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.

· Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.


Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.


1 pendapat:

Anonim mengatakan...

wah tx sharenya :)
ilustrasinya oleh siapa ya

Posting Komentar